Peta Kekuatan Politik di DPR: Mengapa Pemakzulan Gibran Mustahil dan Bisa Picu Gejolak Nasional
Pemakzulan Gibran Mustahil

detakpolitik.com, JAKARTA - Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat ke permukaan, mengundang perbincangan hangat dari kalangan masyarakat sipil hingga elit politik di Senayan. Namun seperti api yang disiram air, gelombang desakan itu tampak lebih seperti riak daripada badai. Di tengah kompleksitas hukum tata negara dan peta kekuasaan parlemen yang sedang berlangsung, muncul pertanyaan mendasar: apakah benar jalan pemakzulan ini realistis, atau sekadar bentuk ekspresi politis dari segelintir pihak yang kecewa?
Direktur Eksekutif Detak Politika, Widodo Sihotang, memberikan analisis lugas. Ia menilai peluang pemakzulan Gibran di parlemen sangat tipis. Bukan hanya karena mekanisme konstitusionalnya yang panjang dan ketat, tetapi juga karena kenyataan politik bahwa mayoritas partai di DPR adalah pendukung utama Pemerintahan Prabowo Subianto, di mana Gibran adalah pasangan sahihnya sebagai Wakil Presiden. Dalam suasana parlemen yang relatif stabil, Widodo menyebut parlemen saat ini tegak lurus terhadap pemerintahan, tanpa ada satu pun fraksi yang secara serius atau agresif mengawal desakan pemakzulan dari pihak luar, dalam hal ini Forum Purnawirawan TNI.
Jika kita menelaah susunan kekuatan di DPR hasil Pemilu 2024, ada delapan partai politik yang lolos ke Senayan: PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, PKB, NasDem, PKS, Demokrat, dan PAN. Dari delapan ini, tujuh partai telah menyatakan dukungan langsung atau tidak langsung terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Hanya PDI Perjuangan yang belum secara resmi menyatakan berada dalam barisan pemerintah, namun bahkan PDIP pun tak serta-merta mengambil posisi sebagai oposisi. Mereka menyebut diri sebagai mitra kritis, bukan musuh.
Dengan demikian, secara kalkulatif, suara untuk mendukung langkah sebesar pemakzulan di parlemen akan sangat sulit dikonsolidasikan. Bagaimanapun, pemakzulan bukan sekadar desakan emosional. Ini adalah proses konstitusional yang menuntut kehati-hatian, akurasi hukum, dan kesepahaman politik yang sangat tinggi. Secara formal, pemakzulan harus disetujui dua pertiga anggota DPR dalam Sidang Paripurna. Setelah itu, barulah Mahkamah Konstitusi akan menilai secara yuridis apakah tuduhan terhadap Wakil Presiden itu benar-benar terbukti dan memenuhi unsur pelanggaran hukum berat atau pengkhianatan terhadap negara.
Peneliti politik BRIN, Wasisto Raharjo Jati, mengingatkan bahwa pemakzulan bukanlah ruang politik bebas nilai. Prosedurnya memiliki rambu-rambu hukum yang jelas. Setelah Paripurna DPR menyetujui, Mahkamah Konstitusi diberi waktu 90 hari untuk memutuskan secara objektif. Jika dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat, barulah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dapat menggelar sidang istimewa untuk menindaklanjuti putusan itu. Sebuah proses panjang dan penuh prasyarat.
Dalam konteks ini, kita bisa memahami bahwa surat dari Forum Purnawirawan TNI yang dikirimkan ke MPR dan DPR pada awal Juni 2025 merupakan ekspresi kepedulian. Surat itu mengangkat isu yang selama ini ramai dibicarakan publik: tentang dugaan intervensi keluarga dalam pencalonan Gibran lewat jalur Mahkamah Konstitusi. Forum menilai bahwa keterlibatan Anwar Usman, paman Gibran dan saat itu Ketua MK, telah mencederai prinsip keadilan dan imparsialitas lembaga peradilan. Bahkan mereka menyelipkan dugaan soal identitas daring “Fufufafa” yang dikaitkan dengan Gibran sebagai tambahan narasi tuduhan.
Namun semua itu masih bersifat dugaan, persepsi, dan belum diuji melalui jalur hukum. Dalam sistem hukum kita, apalagi menyangkut posisi tinggi seperti Wakil Presiden, semua bentuk tuduhan harus melalui proses hukum yang sah dan tidak boleh hanya berdasarkan opini, asumsi, atau desakan massa. Kita tentu paham bahwa demokrasi menjamin kebebasan menyampaikan pendapat, tetapi demokrasi yang sehat harus diiringi dengan tanggung jawab, bukan sekadar sensasi.
Respons dari para pimpinan lembaga legislatif juga menunjukkan bahwa mereka berhati-hati. Wakil Ketua MPR dari PKS, Hidayat Nur Wahid, mengakui bahwa surat Forum Purnawirawan sudah berada di meja Ketua MPR Ahmad Muzani, namun belum ada undangan resmi untuk membahasnya. Sementara dari PDI Perjuangan, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul menegaskan bahwa surat yang masuk masih akan dinilai formalitasnya. Artinya, MPR tidak gegabah. Mereka ingin memastikan bahwa pengirim surat memang institusi yang kredibel secara hukum dan konstitusional.
Lebih lanjut, Wakil Ketua DPR dari Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, bahkan belum membaca isi surat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa proses birokrasi formal di parlemen tetap berjalan sesuai prosedur, tidak didorong oleh tekanan luar. Pendekatan seperti ini penting agar stabilitas kenegaraan tidak terganggu oleh gejolak emosional atau ketegangan opini publik yang tidak berbasis pada kajian hukum.
Pakar hukum tata negara dari UGM, Yance Arizona, memberikan penilaian yang senada. Menurutnya, dalil-dalil yang disampaikan Forum Purnawirawan masih lemah secara hukum. Belum ada fakta hukum yang menunjukkan Gibran melakukan pelanggaran berat konstitusi. Dalam bahasa konstitusi, pelanggaran yang bisa memicu pemakzulan adalah pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana berat, atau perilaku tercela yang berdampak serius pada integritas jabatan negara. Tuduhan soal konflik kepentingan dalam pengambilan putusan MK tidak serta-merta bisa dibebankan pada Gibran, sebab yang memutus adalah lembaga kolektif bernama Mahkamah Konstitusi, bukan perorangan.
Lebih penting lagi, Gibran adalah produk dari pemilihan langsung yang sah, didukung oleh lebih dari 96 juta pemilih, berdasarkan hasil rekapitulasi KPU yang juga diawasi oleh Bawaslu. Masyarakat telah menggunakan hak pilihnya secara bebas dan transparan. Memakzulkan seseorang yang dipilih rakyat melalui proses yang telah diakui secara legal akan menciptakan preseden buruk jika tidak melalui pertimbangan hukum yang benar-benar kokoh. Demokrasi bisa hancur bila kehendak minoritas untuk menjatuhkan legitimasi yang lahir dari mayoritas tidak dikendalikan oleh mekanisme hukum.
Di sisi lain, publik juga perlu jernih dalam menilai apakah tuntutan pemakzulan ini murni demi kebaikan negara, atau justru bagian dari agenda politik pasca kekalahan. Fakta bahwa sebagian besar partai di DPR adalah bagian dari Koalisi Indonesia Maju menunjukkan bahwa konsolidasi kekuasaan di parlemen relatif solid. Bahkan PDIP yang selama ini dianggap “di luar pemerintahan” pun tidak secara frontal menolak pemerintahan Prabowo-Gibran. Dalam berbagai pernyataan, mereka justru menempatkan diri sebagai mitra kritis yang siap mengawasi dengan cara-cara konstitusional.
Bila demikian, sulit membayangkan ada dua pertiga anggota DPR yang bersedia mengesahkan langkah pemakzulan ini. Peta politik hari ini menunjukkan stabilitas, bukan keguncangan. Bahkan usulan hak angket dalam pemilu lalu saja tidak berhasil terkonsolidasi, apalagi pemakzulan yang jauh lebih serius.
Lebih dari itu, desakan semacam ini menyimpan potensi bahaya. Jika tidak dikelola dengan bijak, isu pemakzulan bisa menjadi bara dalam sekam yang memicu gejolak sosial. Gibran bukan hanya Wakil Presiden, tetapi juga anak dari sosok yang masih sangat populer, Joko Widodo. Setiap upaya menjatuhkan Gibran tanpa dasar hukum kuat berpotensi menimbulkan polarisasi yang membelah masyarakat. Gelombang protes tandingan bisa muncul. Loyalis Jokowi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke tentu tidak akan diam saja melihat simbol keberlanjutan politik Jokowi dipermalukan. Apalagi, Gibran belum genap setahun menjabat dan belum punya rekam jejak kekuasaan yang dapat dijadikan dasar evaluasi menyeluruh.
Alih-alih memicu kegaduhan, bangsa ini perlu bersatu dalam mengawal kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran secara objektif. Fokus utama seharusnya tertuju pada bagaimana pemerintahan baru ini menjawab tantangan pembangunan, membuka lapangan kerja, memperbaiki kualitas pendidikan, serta menjaga stabilitas nasional. Kritik tentu penting, tetapi harus dilakukan dalam koridor hukum dan etika politik yang bijak.
Isu pemakzulan terhadap Gibran sesungguhnya menjadi momentum untuk mendewasakan demokrasi kita. Ia menguji kita: apakah kita akan terus terjebak dalam politik dendam dan nostalgia masa lalu, atau berani menatap masa depan dengan akal sehat dan kejernihan berpikir. Biarkanlah hukum berjalan dengan prosedurnya. Biarkan parlemen bekerja sesuai mandatnya. Dan biarkan rakyat menilai pemimpinnya lewat kerja nyata, bukan lewat intrik politik yang tidak produktif.
Akhirnya, kita harus percaya bahwa kekuasaan yang lahir dari rakyat tidak akan tumbang hanya karena surat atau opini segelintir elite. Demokrasi kita sudah cukup dewasa untuk membedakan antara aspirasi dan agitasi, antara kritik dan kudeta. Kita membutuhkan stabilitas untuk melangkah maju, bukan kegaduhan yang mengoyak tenun kebangsaan. Pemakzulan bukan solusi, bila tak ada pelanggaran. Kritik boleh, tapi jangan lupa: kehormatan demokrasi adalah ketika kita menjaga konstitusi dari nafsu kekuasaan yang menyamar sebagai suara rakyat.
(ws/dp)
Apa Reaksi Anda?






